Friday, 14 November 2014

#11 Merantau dan Pulang

me·ran·tau v 1 berlayar (mencari penghidupan) di sepanjang rantau (dr satu sungai ke sungai lain dsb); 2 pergi ke pantai (pesisir); pergi ke negeri lain (untuk mencari penghidupan, ilmu, dsb);~ di sudut dapur, ~ ke ujung bendul, pb pergi mencari penghidupan ke tempat yg tidak berapa jauh;


sumber: kbbi.web.id/rantau

Merantau, tentunya sebuah kegiatan yang tidak asing bagi seorang pemuda-pemudi. Terlebih jika merantau adalah tradisi di suku atau keluarganya. Bagi beberapa suku di Indonesia, seperti Bugis, Minang, dan Banjar, merantau hampir seperti fase hidup yang harus dilalui. Di daerah rantauan saya, Bandung, terdapat sejumlah perantau yang berasal dari Palu, kota tempat saya besar.


Umumnya, pemuda-pemudi asal Palu merantau untuk mencari ilmu di kota yang lebih baik tingkat pendidikannya. Meski pun di Palu sendiri sudah ada Universitas Tadulako, namun universitas tersebut belum mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang baik di beberapa jurusan, terutama teknik.

Pada beberapa bulan yang lalu (saya lupa tepatnya), sebuah akun twitter @SoalPalu melemparkan isu kepada follower-nya dengan kalimat kurang lebih bertuliskan "Jauh-jauh pigi kuliah di luar, ujung-ujungnya kerja di Palu juga". Respon dari pembaca twit tersebut mudah ditebak, terdapat pro dan kontra. Dari kalangan pro, menambahkan bahwa lebih baik kuliah di Palu, karena tidak buang-buang uang orang tua dan bisa berkarya untuk Palu. Sementara dari kalangan kontra, mengatakan bahwa pulang ke Palu untuk kerja berarti turut andil dalam perkembangan Palu.

Jika melihat data dari teman-teman yang saya temui, sebagian besar lulusan universitas dengan reputasi tinggi cenderung tidak kembali ke Palu karena mereka sudah mendapatkan pekerjaan tidak lama setela mereka lulus. Bahkan beberapa orang sudah mendapatkan pekerjaan sebelum mendapatkan gelar sarjana. Bisa dibilang, kemampuan mereka di bidangnya sangat baik sehingga bisa bersaing mendapatkan kerja di kota besar. Hal ini cenderung terjadi karena kekhawatiran mereka akan tidak mendapatkan pekerjaan yang cocok di Palu. Seperti seorang teman lulusan STT Telkom, kini bekerja di salah satu perusahaan cabang Huaweii, apa yang bisa dilakukannya untuk Palu dengan skill yang dimilikinya? Atau seorang saudara, yang kini bekerja sebagai penulis, sering berpindah-pindah kota untuk menulis di sana-sini, apakah tulisannya akan diapresiasi oleh masyarakat Kota Palu?

Adalah sebuah keharusan bagi pemerintah kota untuk menyediakan wadah bagi mereka untuk berkarya, jika ingin mencicipi hasil dari menuntut ilmu mereka. Karena mereka dapat berkembang di daerah lain, namun tidak bisa berkontribusi banyak bagi daerah mereka sendiri. Jika terdapat sentimen bahwa mereka tidak peduli pada Palu, saya yakin mereka masih peduli karena terdapat kerinduan akan kampungnya di setiap jiwa perantau. Setidaknya, demikian seringnya cerita di antara kami para perantau.

Mengenai kuliah di Palu berarti dapat berkarya bagi Palu saat itu juga, saya kurang setuju. Kemajuan teknologi saat ini sudah menghilangkan batas-batas karena jarak sehingga berkarya bagi Palu saat kuliah dapat dilakukan bahkan dari daerah rantau. Sebagai contoh, seorang mahasiswa aerospace engineering dan teknik sipil dapat mengevaluasi potensi Bandara Mutiara Sis Aljufri Palu dalam menghadapi ASEAN Community 2015. Dengan kemampuan staf akademik kampus yang lebih baik, seharusnya mereka dapat memberikan saran untuk Kota Palu. Bisa juga, seorang mahasiswa Pariwisata mengambil tugas akhir untuk memajukan pariwisata Kota Palu. Tidak jarang, mahasiswa-mahasiswa dengan kemampuan yang baik mengambil tugas akhir untuk memajukan Kota Palu.

Kuliah merantau, kemudian pulang bukanlah masalah. Bawalah ilmu sebanyak-banyaknya dari rantaumu, kembangkan kotamu. Jarak bukanlah masalah untuk berkarya, semuanya tergantung niat kita.

Sebagian perantau dari Palu di Bandung, 8 November 2014

"Kitorang yang pigi merantau, rindu juga sama Palu, mau juga pulang ba kembangkan Palu."
"Sama-sama kita kasih gagah ini kota!"

No comments:

Post a Comment