Saya ingin bercerita tentang saya kecil pada suatu saat di Kelurahan Lawanga, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Poso yang akan saya bawakan tidak seperti yang selalu kalian dengar dan nonton di media. Poso di Kelurahan Lawanga adalah Poso yang damai, setidaknya bagi saya yang berumur 8-10 tahun saat itu. Mungkin pandangan saya berikut kurang mencerminkan keadaan sekarang karena sudah banyak yang berubah, tapi inilah Lawanga pada masa itu.
Entah beberapa kali saya mengunjungi Kelurahan Lawanga, sangat sering ketika kami keluarga besar belum ditinggal almarhum Tete Abah dan Nene Ibo, panggilan untuk Kakek dan Nenek kami dari ibu saya.
Saya ingat betul, kami sering bepergian dari Kota Palu ke Kabupaten Poso, beramai-ramai dengan mobil keluarga melewati jalan Pegunungan Kebun Kopi yang berliku. Ada beberapa momen berkesan dari sekedar perjalanan 5-6 jam ini. Kabut yang bagi kami orang Palu sangat jarang dirasakan, kabut embun subuh pegunungan yang masih segar, bahkan ketika membuka kaca kita seolah berada di dalam awan, ingin menggenggam kabut-kabut itu. Monyet yang bergelantungan di pohon-pohon di sekitar jalan, orang tua kami menyebutnya "Yakis Kobong", kami anak kecil saling melempar hinaan satu sama lain saat itu, "Co liat, ada kembaranmu itu e, ba gantung di pohon". Yang terakhir, momen yang paling buat saya bangga adalah ketika saudara saya yang lain muntah karena mabuk darat dan saya tidak, kebanggaan anak kecil yang sangat sederhana.
Sesampainya di Poso, kami langsung menghampiri rumah Tete dan Nene. Rumah yang pasti sangat dirindukan oleh orang tua kami, rumah tempat mereka besar. Sering kali di rumah ini banyak hewan ternak berkeliaran di depan rumah, kotorannya hingga kemana-mana, begitu pula baunya. Satu yang paling saya senangi dari rumah tua ini, kios Nene. Ketika kami cucu-cucunya datang, Nene Ibo tidak akan segan membagikan permen dari kiosnya, bahkan beliau sudah menyiapkan satu-dua bungkus gula-gula (sebutan umum permen di kalangan kami) Kopiko, Mentos, atau yang lain.
Seumuran saya, hanya ada seorang sepupu wanita yang sangat manja dan disayangi oleh orang tuanya. Saya sering bermain permainan laki-laki dengan adik-adik, karena ketika itu kakak-kakak terlihat jauh lebih besar dari saya. Saya ingat benar, siang itu adalah momen dimana saya melompat dari jembatan ke sungai yang berhubungan langsung dengan laut. Saat itu adik-adik saya sudah melompat, bahkan adik sepupu perempuan, apa boleh buat saya yang penakut ini harus ikut lompat agar tidak dibilangi cemen, payah, atau panako (penakut). Mungkin itulah beberapa detik ketika hidup saya seperti ada di tangan Allah, saya hanya memejamkan mata. Byurrr, saya membuka mata dan sudah berada di bawah jembatan, sangat bahagia, meski dengan napas setengah tenggelam.
Sepulang mandi laut, lapar adalah hal yang selalu kami alami dan semua orang tua kami tahu akan hal itu. Di rumah Bibi Hus yang hanya berjarak beberapa meter dari jembatan itu, kami sudah disambut dengan segala jenis makanan, pisang goreng dan lombok adalah pilihan paling pas. Setelah berbilas, kamipun bersiap pergi ke masjid yang berada tepat di seberang jalan rumah Bibi Hus.
Apalagi yang anak kecil perbuat setelah shalat maghrib dan makan malam? Kami bermain di dego-dego. Dego-dego adalah sebutan kami untuk sebuah rumah panggung yang menjulang ke laut. Di rumah ini tempat kami anak kecil atau orang tua sering menghabiskan waktu malam. Reot-reot kayu di setiap langkah, angin malam pantai yang dingin, suara ombak dari bawah panggung, dan lampu yang remang-remang.
Kami anak-anak sering berkumpul menatap pantai lepas, bergelantungan di ujung dego-dego, sambil bercerita. Cerita yang paling sering kami utarakan adalah cerita-cerita yang sangat klasik bagi kami saat itu, entah apa maksudnya. Cerita membandingkan kehebatan Abu Nawas sang tokoh penuh ide, cerita tentang Opa yang menceritakan kehebatannya kepada cucu, atau imajinasi-imajinasi liar lainnya, masing-masing kepala memiliki versi dan setting-annya sendiri.
Hari-hari berlalu, seperti itu di sana, Lawanga, Poso.
Tidak pernah ada penyesalan perjalanan 5-6 jam yang mengocok perut. Yang ada hanya kerinduan, bagi saya, saat ini. Rindu pada keadaan mengunjungi rumah Nene, mandi laut, atau berimajinasi di dego-dego.
Saya merindukan semua kebahagiaan-kebahagiaan sederhana, sesederhana berhasil melompat dari jembatan atau memiliki versi cerita Abu Nawas dan Opa sendiri.
Bandung, 02:09 am
13 Mei 2014
Dalam keadaan merindukan kampung
13 Mei 2014
Dalam keadaan merindukan kampung
dan masa kanak-kanak
Fazlur Nu
18 Tahun
No comments:
Post a Comment